Walaupun
biaya investasi untuk perkebunan Kelapa Sawit
di lahan Gambut lebih mahal, namun Kelapa Sawit terus ditanam di lahan
Gambut di Indonesia. Disamping itu pengembangan kebun Kelapa Sawit di lahan
Gambut juga telah menjadi issue lingkungan yang menarik perhatian masyarakat
dunia dan juga menyebabkan berbagai dampak sosial. Sebagai penyebab utama
terjadinya Deforestrasi dan degradasi, dianggap oleh kalangan environmentalis
adalah karena luasnya pembangunan perkebunan di lahan Gambut.
Best
Management Practice untuk perkebunan kelapa sawit di lahan Gambut diawali
dengan pemilihan lokasi yang tepat dan pelaksanaan analisa mengenai dampak
lingkungan dengan seksama. Selain daripada itu :
· Para pekebun harus telah memahami
dengan baik pengetahuan tentang Jenis dan karakteristik Gambut yang sesuai atau
tidak sesuai untuk ditanami dengan kelapa sawit.
·
Para pekebun harus memahami tentang Pengelolaan
Tata Air yang efektif dan Pengelolaan Pemupukan di lahan Gambut serta Integrated
Pest Management.
Masih
sangat besar peluang dan tantangan untuk membangun perkebunan kelapa sawit di
lahan Gambut, dan sepanjang semua itu dilaksanakan melalui proses pengkajian
dan ke hati hatian serta proses pelatihan tentang gambut maka seyogyanya
pembangunan tersebut tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
dan sosial secara luas.
Gambut
Pembentukan gambut
Berdasarkan proses pembentukannya, terdapat dua
jenis gambut diwilayah tropis, yakni
Obrogen dan Topogen. Pembentukan tanah gambut
merupakan proses Geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi dari
timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum
mati, sedangkan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan
proses Pedogenik.
Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang
kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum
(lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada
bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk
lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1 dan 2).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan
gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah
cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk kubah
(dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 3). Gambut yang tumbuh
di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya
ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya
dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
Gambar berikut adalah ilustrasi
dari Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: 1.Pengisian
danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, 2. Pembentukan gambut topogen, dan 3.
pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de
Meene, 1982).
Gambar 1. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah
Gambar 2. Pembentukan gambut topogen
Gambar 3. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
Klasifikasi gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol
atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat
jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil
Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang
berbeda; dari Tingkat Kematangan, Kedalaman, Kesuburan dan Posisi
Pembentukannya.
Tingkat Kematangan Gambut
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi :
· Gambut Saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, Berwarna
coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
· Gambut Hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut
setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat,
dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
· Gambut Fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum
melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas
>75% seratnya masih tersisa.
Tingkat Kesuburan Gambut
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
· Eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta
unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis
dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
· Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang
· Oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh
lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan
oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan
umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai.
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan
basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut
di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.
Lingkungan Pembentukan Gambut
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
· Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan
yang hanya dipengaruhi oleh air hujan
· Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di
lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang.
Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur
dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Kedalamam Gambut
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
· Gambut Dangkal (50 – 100 Cm),
· Gambut Sedang (100 – 200 Cm),
· Gambut Dalam (200 – 300 Cm), Dan
· Gambut Sangat dalam (> 300 cm)
Lokasi Pembentukan
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
· Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat
pantai laut dan mendapat pengayaan mineral dari air laut
· Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di
daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air
hujan
· Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut
Karakteristik Fisik Gambut
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian adalah :
· Kadar Air
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300 % dari berat keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai
13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD
menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah
(Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997).
· Berat Isi (Bulk Density,
Bd)
BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD
lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut
di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya
pengaruh tanah mineral.
· Daya Menahan Beban (Bearing
Capacity)
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing
capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya
peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan
pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet,
kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. Pertumbuhan
seperti ini dapat menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen
sawit namun akan menimbulkan kesulitan dalam proses evakuasi hasil panen untuk
diangkut ke Pabrik.
· Subsiden (Penurunan Permukaan)
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi
penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden
juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama
setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun
berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya
subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung
· Mengering Tidak Balik (Irriversible
Drying)
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut
yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama
dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam
keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi
panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga
sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran
lahan bisa meluas tidak terkendali.
Karakteristik Kimia Gambut
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh :
· Kandungan Mineral
Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya
adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar
10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang
sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut.
Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh
karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa
dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997;
Saragih, 1996).
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi
ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah
gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk
mikro.
· Ketebalan, Jenis Mineral Pada
Substratum (Di Dasar Gambut)
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan
kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir
kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75
(Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan
Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1
sampai 4,3 (Hartatik et al., 2004).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai
kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada
gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah
dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di
sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga
kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974)
melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah
mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau
(Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
· Tingkat Dekomposisi Gambut.
Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan
lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah
beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo,
1976).
Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai
menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam fenolat
dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995).
Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan
lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang
bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat,
vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat (Dr.
Wiwik Hartatik dan Dr. Diah Setyorini, komunikasi pribadi).
Potensi
lahan gambut untuk Kelapa Sawit
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal
(kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa
sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2).
Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika
ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin et al.,
2003).
Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi
sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi
lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi
menjadi lahan pertanian.
Pengelolaan air
Reklamasi gambut untuk Kelapa Sawit memerlukan jaringan drainase makro yang
dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah dan drainase mikro untuk
mengendalikan tata air di tingkat lahan. Sistem drainase yang tepat dan benar
sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk tanaman pangan maupun
perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan
gambut.
Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah
bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi
untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu
dalam.
Tanaman Kelapa Sawit memerlukan saluran drainase dengan kedalaman 50-80 cm.
Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden)
dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya
sangganya terhadap air menjadi menurun.
Pengelolaan kesuburan tanah
Unsur hara utama yang perlu ditambahkan untuk Kelapa Sawit di lahan gambut
terutama adalah unsur P dan K. Tanpa unsur tersebut pertumbuhan tanaman sangat
merana dan hasil tanaman yang diperoleh sangat rendah.
Sedangkan unsur hara lainnya seperti N dibutuhkan dalam jumlah yang relatif
rendah karena bisa tersedia dari proses dekomposisi gambut.
Subsiden
Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan
gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat
balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah
subsiden dapat diatasi secara perlahan.
Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat
kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan
gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991;
Salmah et al., 1994, Wösten et al., 1997).
Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen:
1. Konsolidasi yaitu pemadatan
gambut karena pengaruh drainase. Dengan menurunnya muka air tanah, maka terjadi
peningkatan tekanan dari lapisan gambut di atas permukaan air tanah terhadap
gambut yang berada di bawah muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi
(menjadi padat).
2. Pengkerutan yaitu pengurangan
volume gambut di atas muka air tanah karena proses drainase/pengeringan.
3. Dekomposisi/oksidasi yaitu
menyusutnya massa gambut akibat terjadinya dekomposisi gambut yang berada dalam
keadaan aerobik.
4. Kebakaran yang menyebabkan
menurunnya volume gambut.
Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan subsiden
karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas. Faktor lain yang ikut
mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat. dan pemupukan.
Proses subsiden berlangsung sangat cepat; bisa mencapai 20-50 cm tahun-1 pada awal dibangunnya saluran drainase (Welch dan Nor, 1989), terutama
disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan pengkerutan. Dengan berjalannya
waktu maka subsiden mengalami kestabilan. Pada kasus di Sarawak, seperti
diperlihatkan pada Gambar 9, subsiden mencapai kestabilan pada tingkat 2±1,5 cm
tahun-1 sesudah sekitar 28 tahun semenjak lahan didrainase. Kedalaman muka air
tanah rata-rata mempunyai hubungan linear dengan tingkat subsiden.
Dengan tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka dalam 25 tahun (satu
siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun sekitar 100 cm. Untuk tanah
gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan PIRIT dangkal) maka subsiden ini akan menyingkap lapisan pirit
sehingga PIRIT teroksidasi membentuk
H2SO4 dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa ditanami lagi.
Penurunan permukaan gambut juga menyebabkan menurunnya kemampuan gambut
menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan setebal satu meter,
maka lahan gambut tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air
sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 m3 ha-1. Dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m3 air lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena sedikitnya
cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat
diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya
akan rentan kekeringan pada musim kemarau.
Penyiapan Lahan Gambut untuk
Kelapa Sawit
Karakteristik Fisik Gambut yang telah di uraikan dimuka, merupakan alasan
utama dibangunnya sistim tata air pada tahap awal penyiapan lahan di lahan
gambut untuk perkebunan kelapa sawit.
Sistim Tata Kelola Air termasuk drainase dan menjaga air permukaan untuk
mencegah terjadinya kekeringan merupakan
awal yang baik untuk keberhasilan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
Sistim Tata Kelola Air ini harus dibuat dengan perencanaan yang seksama
dengan melakukan survey pada saat musim kemarau dan survey ketika musim hujan.
Pada saat musim hujan, sistim harus dapat menampung semua volume aliran air
agar aerasi perakaran kelapa sawit tidak terganggu karena terendam. Sebaliknya
pada musim kemarau, air harus dapat dijaga ketinggian permukaannya agar tanaman
kelapa sawit tidak stress karena keringnya gambut. Dalam hal ini, diperlukan
pintu air yang berperan mengatur level permukaan air antara 50 hingga 80 cm
dari permukaan gambut.
Apabila memungkinkan, Parit Utama (Main
Drain) di buat pada parit alam yang sudah ada sedangkan Parit koleksi (Collection Drain) dibuat setiap 200 meter di sisi blok kebun yang
lebih panjang yang levelnya lebih rendah, agar air dapat mengalir mengikuti
kemiringan dan tidak perlu dibuat titi panen. Parit Cacing dibuat dengan
interval 5 – 8 baris atau setiap 50 meter tergantung ukuran blok yang
direncanakan.
Kedalaman awal dari parit yang dibuat berfungsi untuk menahan penurunan
permukaan gambut secara fisik dan terjadinya pemadatan alami dari material
gambut sebanyak-banyaknya 1 meter pada tahun pertama. Pemadatan biasanya
terjadi seiring dengan penurunan gambut mengikuti parit yang dibuat dan setelah
itu rata rata penurunan gambut harus di kontrol dengan cara memanipulasi
permukaan air pada parit.
Pemadatan gambut yang sesuai akan memberikan dampak baik pada kapilaritas
dan penyimpanan air sehingga memperbaiki kekuatan berdiri dari tanaman sawit, meningkatkan ketersediaan
unsur hara tanaman, mengurangi risiko mudah terbakar, serangan rayap dan
semut dan mendorong pertumbuhan dan
produktifitas tandan buah segar.
Lahan dapat dipertimbangkan untuk siap ditanami setelah semua jaringan
parit selesai dibuat dan jalur tanam sudah dibersihkan serta titik tanam sudah
dipadatkan. Penanaman Cover Crop di lahan gambut adalah bukan untuk fiksasi
nitrogen dan mencegah erosi , karena tidak ada manfaat dari fiksasi nitrogen
pada pH yang rendah; dan pada lahan gambut tidak mungkin terjadi erosi karena
umumnya datar. Justru penanaman crover crop menambah risiko terjadinya
kebakaran pada musim kemarau apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat.
Penanaman cover crop masih diperlukan hanya untuk menekan pertumbuhan gulma dan
membantu pelapukan sisa tebangan serta menekan perkembang-biakan kumbang tanduk
(Oryctes rhinoceros).
Pembibitan dan Tanam Palma
Kondisi kandungan fisik dan kimia gambut tidak sesuai untuk pembibitan
kelapa sawit bila dibandingkan dengan tanah mineral, oleh karenanya tanah yang
digunakan untuk bibit kelapa sawit mutlak harus tanah mineral.
Panjang pelepah kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut akan selalu lebih
pendek dari pada yang ditanam di tanah mineral, terutama yang ditanam di gambut
jenis ombrogen. Karena itu, untuk memenuhi optimum leaf area index (LAI),
penanaman kelapa sawit di lahan gambut dibuat dengan density yang lebih banyak,
yaitu 160 pokok per hektar.
Penanaman kelapa sawit pada gambut dalam direkomendasikan dengan cara “ triple
hole” . Prosedurnya adalah sebagai berikut :
1. Titik tanam di padatkan 0,5
hingga 1 meter menggunakan bucket excavator.
2. Pembuatan lubang menggunakan
tractor khusus dengan kemampuan 1000 lubang per hari, atau excavator dengan
bucket khusus untuk melubang.
3. Penanaman dilakukan pada “hole-in-hole-in-hole”.
Pemadatan titik tanam adalah
mutlak harus dilakukan dan prosedur diatas harus dilaksanakan tanpa kompromi.
Pemupukan
Pemupukan tepat jenis, tepat
dosis dan tepat waktu adalah dasar dari
keberhasilan untuk memperoleh produktifitas kelapa sawit yang ditanam di lahan
gambut dalam. Aplikasi Reactive Rock
Phosphate ( RRP) bersama abu janjang atau abu kayu bakar bila abu janjang
tidak tersedia. Semua di letakkan di
sekeliling piringan untuk meningkatkan ketersediaan unsur N, Phospor (P), K,
melalui peningkatan dekomposisi gambut serta mineralisasi.
Bila abu janjang dan abu kayu
bakar tidak tersedia, maka dapat digunakan pupuk mineral sebagai berikut :
Nitrogen
Gambut mengandung N dalam jumlah
besar. Seperti yang telah diuraikan dimuka, aplikasi kapur, atau material lain
yang memiliki pH tinggi seperti abu janjang, abu kayu bakar, atau rock
phosphate (RP) akan meningkatkan dekomposisi danmineralisasi N. Aplikasi N sebanyak 0,6 kg per pokok per tahun (lebih kurang 1,25 kg
Urea per pokok) adalah tepat pada tahun pertama di tanam di lapangan.
Phospor
Aplikasi 300 – 400 gram P2O5 per pokok per tahun adalah dosis
yang tepat untuk kelapa sawit pada masa TBM ( Tanaman Belum Menghasilkan).
Disebabkan keasaman gambut sangat tinggi, aplikasi RRP ( 1 – 1,25 kg per pokok
per tahun merupakan sumber P yang utama.
Kalium
Kalium merupakan unsur yang
umumnya merupakan unsur hara yang kurang tersedia (deficient) pada lahan
gambut. Aplikasi K2O sebanyak 2 – 4 kg per pokok per tahun dalam bentuk pupuk
KCL selama masa pertumbuhan kelapa
sawit.
Magnesium
Magnesium (Mg) jarang menjadi
tidak tersedia di lahan Gambut, namun akibat aplikasi K maka Mg menjadi kurang
tersedia. Pemupukan Mg lebih ditujukan untuk koreksi atas kemungkinan
kekurangan yang terjadi.
Kalsium
Kalsium sebagai unsur hara
tambahan umumnya tidak diperlukan, karena Ca merupakan komponen Kapur yang
sejak awal sudak di rekomendasi untuk di aplikasikan guna meningkatkan dekomposisi
gambiut.
Copper
Copper akan diserap oleh humic
dan fulfic acid yang terdapat pada bahan organik. Oleh karenanya defisiensi
unsur mikro Cu pasti terjadi di lahan
gambut. Defisiensi Cu dapat di identifikasi sebagai penyebab “mid-crown chlorosis”, yang sangat mengganggu
pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan produksi TBS rendah.
Boron
Ketersedian Boron di lahan Gambut
umumnya tidak mencukupi untuk keperluan pertumbuhan kelapa sawit. Aplikasi
Borate sebanyak 0,1 kg per pohon adalah
langkah pencegahan terjadinya defisiensi Boron.
Zinc
Guna mencegah defisiensi Zn, yang
berhubungan dengan penyimpangan unsur hara yang disebut “peat yellows”, aplikasi pupuk majemuk yang
mengandung Zn dan unsur mikro lainnya harus dilakukan selama masa TBM.
Dampak pH dalam Ketersediaan Hara
pH ekstrim akan melepaskan
sejumlah substansi dalam tanah dan dapat meracuni tanaman. Tanah Masam seperti
Gambut akan melarutkan sejumlah unsur metal seperti alumunium dan mangan,
sedangkan tanah basa akan mengakumulasi garam dan Natrium Karbonat dalam
konsentrasi beracun yang dapat merubah struktur tanah sehingga menyebabkan
perakaran tanaman sulit berkembang.
Dalam situasi ini, sistim perakaran akan sulit menyerap air dan unsur hara.
Demikian juga halnya pada tanah masam, yang mengandung racun dari unsur metal,
dimana unsur hara yang diperlukan tanaman pada subsoil tereduksi dan perakaran
sulit berkembang bahkan dapat menyebabkan kematian.
pH mendekati netral sekitar 6,5
merupakan kondisi yang favorable untuk terjadinya penyerapan unsur hara oleh
tanaman. Pada kondisi ini, mikroba dalam tanah menjadi sangat aktif terutama
untuk terjadinya fiksasi nitrogen. Sedangkan pada tanah masam seperti Gambut,
mikroba tanah akan mengalami dorman sehingga tidak akan terjadi fiksasi
nitrogen dalam tanah. Oleh karenanya pengapuran yang dilakukan pada lahan
Gambut adalah mutlak dilakukan agar mikroba tanah menjadi aktif dengan naiknya
pH tanah dan kondisi tanah menjadi favorable untuk terjadinya penyerapan unsur
hara oleh tanaman.
Berikut ini adalah tabel yang
menggambarkan hubungan antara pH tanah dengan ketersediaan unsur hara bagi
tanaman.
Klasifikasi pH
Klasifikasi pH
|
Nilai pH
|
Extremely acid
|
< 4.5
|
Very strongly acid
|
4.5 to 5.0
|
Strongly acid
|
5.1 to 5.5
|
Medium acid
|
5.6 to 6.0
|
Slightly acid
|
6.1 to 6.5
|
Neutral
|
6.6 to 7.3
|
Mildly alkaline
|
7.4 to 7.8
|
Moderately alkaline
|
7.9 to 8.4
|
Strongly alkaline
|
8.5 to 9.0
|
Very strongly alkaline
|
> 9.0
|
Pola tanam kelapa sawit di Lahan Gambut
Main Drain
Collecting
Drain
Project Bintulu
Sarawak
Project Kelapa
Sawit di Bintulu, Sarawak; telah melakukan tanam kelapa sawit di lahan
gambut dengan cara yang tidak lazim, namun ternyata telah memberikan bukti
nyata yang posistif untuk mengatasi daya dukung gambut yang lemah.
Semua Bibit Kelapa Sawit ditanam dengan cara miring
30 derajat pada jalur tanam.
Setelah 6 bulan di tanam di lapangan
Perakaran Tanaman lebih Luas dan Kuat
,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar